Dalam hidup, ada beberappa
cuplikan episode yang dengan indah Ia rangkai untuk kita bisa belajar. Belajar
mengambil percikan kebenaran, atau bahkan, belajar mengenali suatu kesalahan.
Setelah menghabiskan berminggu-minggu
untuk merenungkan dan mereduksi segala yang terjadi dalam hidupku saat ini,
yang hanya dalam kurun waktu singkat aku mengalami goncangan-goncangan yang hampir
membuatku patah. Aku habiskan waktu hanya untuk mengasihani diriku sendiri,
mengasiani segala kelemahan-kelemahan atau lebih tepat kemalasan yang
sebenarnya harus aku tepis jauh-jauh. Aku mengalihkan segala fokusku untuk
memikirkan hal-hal yang lebih membahagiakanku, padahal itu hanya bahagia semu,
karena dibelakang aku masih menyimpan beban yang merupakan bom waktu yang akan
siap meledak kapanpun ia mau. Entah kenapa, aku yang terbiasa menghadapi ini
justu lari dari kenyataan. Memalukan, aku minta dikasiani atas hal-hal yang
menimpaku, padahal harusnya aku yang ada didepan untuk menguatkan. aku menjerit
tak mau menghadapinya, orang macam apa aku ini. Aku merasa sendiri, tak sanggup
menghadapinya, padahal harusnya yakin kalau Allah itu membersamai dalam setiap langkah,
apakah aku melupakan bahwa Allah itu tidak akan memberikan cobaan diluar batas
kemampuan hambaNYA. Seolah-olah tak ada yang mau mengerti, padahal aku sendiri
yang berkomitmen untuk tak membaginya pada dunia. Orang macam apa aku ini.
Hanya bisa sembunyi dan minta belas kasihan orang lain, berpura-pura
mengalihkan topik agar aku lupa pada bom waktu yang aku simpan. Aku membiarkan
orang-orang yang aku kasihi berjuang sendiri menanggung perih yang mungkin akan
mengendap dan membinasakan. Orang macam apa aku ini. Mengeluh dan mengeluh,
mengasiani diri sendiri yang tidak ada gunanya sama sekali. Dalam hati yang
terdalam, sungguh aku ingin bangkit dan menghadapinnya, tapi kenapa aku begitu
lemah dan malas. Orang macam apa aku ini.
Subuh ini aku membaca sebuah artikel, dan tak tau kenapa batinku terasa terkoyak saat sampai pada kalimat “Jika ia memang beriman, dengan sebenar-benar dan seyakin-yakinnya iman, maka tidaklah pantas ia memilih untuk mensia-siakan kehidupan yang telah diberikan.”
Subuh ini aku membaca sebuah artikel, dan tak tau kenapa batinku terasa terkoyak saat sampai pada kalimat “Jika ia memang beriman, dengan sebenar-benar dan seyakin-yakinnya iman, maka tidaklah pantas ia memilih untuk mensia-siakan kehidupan yang telah diberikan.”
I shouldn’t have done it before,
why in the world did I even think about that thing in that way?
Memalukan, kenapa butuh waktu
yang lama untuk aku menyadari tak ada yang sia-sia pada setiap hal yang Ia
sediakan dalam kehidupan.
Yang tersisa hanya seberapa jauh
kesiapan kita mentadabburi setiap petunjuk dari-Nya.
Aku akan memulai kembali menjadi
aku.