Awalnya aku baca bukunya bunda Asma, aku berpikir mungkinkah ada pernikahan yang bahagia, dimana seorang laki-laki setia mencintai istrinya tanpa berpikir untuk mendua/berpoligami, bukannya aku melarang poligami, karena itu halal dalam islam asalkan suami bisa bersikap adil. Hanya saja, aku tak mampu dan tak mau diduakan. . .Aku tak mampu melihat suami seseorang yang aku cintai nantinya, ternyata mencintai dan membagi kasihnya untuk wanita lain. Sungguh maaf aku tak bisa seperti itu. . .
Aku mulai berpikir ulang tentang sebuah pernikahan, dan meredamkan anganku untuk segera memiliki keluarga baru di usia 24 tahun, yang kini aku rasa ternyata terlalu cepat. Tetapi setelah aku baca buku kisah percintaan antara Habibie dan Ainun aku mulai sadar memang begitu berat tugasku nantinya sebagai seorang istri dan ibu dari anakku kelak. Maka dari itu, bukan masaku sekarang untuk kuhabiskan waktu untuk hal-hal yang tak berguna. . .selain mempersiapkan dan memperbaiki diri, memantaskan diri menjadi seorang istri dan ibu, semata-mata agar aku bisa mempertanggungjawabkan amanah yang telah diberikan Allah untuk fitrah ku sebagai seorang wanita. . .
Sedikit aku cuplikan kata-kata yang menurutku bisa diambil pelajaran. . .
“Memang: tuntutannya banyak. Terhadap isteri. Terhadap anak. Terhadap anak buahnya. Ia ingin mencapai yang setinggi-tingginya. Dia memberikan segalanya dan menuntut segalanya. Dia memberi dan menuntut secara mutlak. Begitulah sifatnya. Itulah yang membuat hidup dengannya tidak mudah.
Tetapi ia juga memberi secara mutlak, semua yang ada padanya diberikannya pada anak-isterinya: impian-impiannya, kepandaiannya, semangatnya, marahnya, kekecewaannya, perhatiannya, kesehatannya, pengorbanannya. Di dalam segala kehebatannya ia sangat peka: perhatian kami, pengertian kami, dukungan kami, baginya segala-segalanya. Itulah yang membuat semuanya ada gunanya.”
-halaman 64
.