(Sebuah doa pengharapan, senandung
kerinduan dan kidung keyakinan)
Rumahku
bukan lagi tempat yang indah karena ayah dan ibuku kerap bertengkar. Keluargaku
juga bukan merupakan tempat yang teduh karena teriakan dan hardikan hampir
merupakan menu setiap hari. Seruan yang satu dibalas dengan teriakan yang lain.
Lontaran yang lain dijawab kasar oleh yang satu. Dalam suasana yang panas,
kering, hambar seperti ini rasanya waktu berjalan lama. Menunggu hari esok
terlalu panjang. Tetapi apakah kalau hari esok tiba, suasana akan berobah
menjadi lebih baik; kasar menjadi lembut, benci menjadi cinta, marah menjadi
ramah, sinis menjadi manis, tatapan tajam menjadi lembut. Hanya Engkau yang
tahu.
Aku
hanya mau bertanya kepadaMu Allah, di manakah Engkau ketika kedua orang tuaku
bertengkar hebat? Apakah Engkau sendiri mendengar kata-kata kasar dari ayahku,
dan jawaban yang tidak sampatik dari ibuku. Bagaimanakah perasaanMu sendiri
saat mereka saling melukai perasaan. Apakah perasaanmu juga terluka?
Walau
dinding rumahku terbuat dari beton, namun rasanya itu tidak kuasa menopang
kegoncangan yang terjadi. Walau atapnya dari seng, namun itu juga tidak kuasa
memberi keteduhan. Walau lantainya kokoh berlantai keramik, namun itu juga
tidak mampu menahan ketegangan yang nyata. Rapuh ! karena cinta mulai terkikis,
kesabaran mulai hilang, rasa percaya mulai pudar, dan kelemahlembutan juga kini
sirna.
Rasa
ketidak enakanku bahkan ketakutanku sangat nyata terasa saat mereka berdua
seperti tidak saling mengenal. Mereka seperti orang lain saja yang seenaknya
mengumbar emosi yang membara dan kemaharan yang tidak terkontrol. Sering aku
menangis mengingat semuanya ini. Rasanya aku mau berlari meninggalkan kenyataan
ini. Aku juga sering bermimpi keluargaku, rumahku dan kedua orang tua hidup
rukun dan damai, tetapi sampai sekarang mimpi itu tidak datang-datang. Malahkan
kesannya semakin menjauh.
Allahku,
aku adalah anak kecil yang tidak kuasa kuasa untuk mengobah segalanya. Anak
kecil yang masih harus diajar dan didik tidak pantas mengatakan sesuatu kepada
mereka. Maka air matakulah yang sering menjadi pelarianku. Doaku jugalah yang
sering menjadi sandaran harapanku. Air mata itu belum kering, dan saya tidak
tahu kapan itu akan menjadi kering. Saat tangisanku mulai reda, air mata itu
mulai kering, kenyataan pahit itu datang lagi; teriakan, hardikan, kemarahan
dan rasanya mata ini sudah sangat perih, bibir ini keluh dan perasaan ini
sangat sedih teriris. Luka lama itu teriris lagi.
Allah
aku rindu tersenyum. Aku ingin tertawa. Aku mau damai itu. Aku inginkan
keteduhan itu. Aku mendambakan kerukunan itu. Tetapi kapan? Hanya Engkau yang
tahu. Hanya ini pintaku dan harapanku, “Redakan kemarahan itu, lembutkan hati
yang keras itu, dan sirami jiwa yang panas itu. Saya percaya Engkau mampu
melakukannya karena Engkau Maha Kuasa, sebagaimana guru sekolah minggu ku
utarakan. Allahku buatlah aku tersenyum, kalau belum bisa tertawa. Buatlah aku
tenang kalau belum bisa senang.
Allah,
di penghujung cetusan ini aku hanya mau mengatakan sebuah doa pengharapan,
nyanyian mimpi, kidung keyakinan, senandung kepastian, bahwa Engkau tidak akan
membiarkan ayah dan ibuku larut dengan suasana pedas, pahit dan ketegangan ini.
Engkau tidak mengijinkan ayahku memarahi hebat ibu. Engkau juga jangan
membiarkan ibuku membalas lontaran ayahku dengan tidak simpatik. Benar sebagai
anak aku tidak kuasa mengobah segalanya, tetapi aku berhak bermohon segalanya
dariMu untuk ayah dan ibuku; damai, kasih, suka cita, kelemah lembutan,
kerendahan hati dan kesabaran. Allah jadikanlah semuanya ini menjadi hiasan dan
pernik keluargaku. Amin. (Dari anakmu)
Para
sahabatku terkasih dan teman-teman sekalian, cetusan ini juga barangkali
cetusan anakmu sendiri. Harapannya juga merupakan harapan anak-anakmu.
Kepedulian anak biasanya berangkat dari hati yang murni, perasaan tulus dan
jiwa yang bening. Buatlah anakmu tersenyum, buatlah mereka tertawa, damai dan
teduh di rumah itu. Hanya ini harapan dan keinginan mereka darimu kedua orang
tuanya. Semoga kamu mampu menjawab kehausan anakmu akan hal ini.