Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan seorang sastrawan. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Sejak kecil Gie-panggilang akrabnya, amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebon Jeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satu-satunya adalah Soe Hok Djien yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia.
Gie adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan sejak SMP rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Setelah melewatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius, tahun 1962-1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Ilmu sejarah. Di masa kuliah ini Gie menjadi aktivis kemahasiswaan.
Karier struktural Gie diawali dengan mendirikan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (MaPaLA UI) bersama rekan – rekannya. Setelah itu pernah menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra Universtas Indonesia. Dengan bakat dan kebrilianannya, jabatan sebagai ketua BEM UI mungkin tinggal tunggu waktu saja. Namun dia menolak ketika dicalonkan rekan – rekannya , dan memilih mengajukan salah seorang rekannya yang dianggapnya lebih memiliki kapabilitas yaitu Herman Lantang. Dia lebih memilih berada di balik layar saja. Banyak yang menyayangkan keputusan Soe Hok Gie kala itu. Tetapi Soe Hok Gie lebih memilih menyibukkan dirinya pada dua organisasi yang asyik digelutinya yaitu MaPaLa UI dan sebagai Ketua Senat Fakultas Sastra.
Ketika keadaan perekonomian di tanah air semakin tidak terkendali sebagai akibat adanya depresi perekonomian pada sekitar dekade enam puluhan yang mengakibatkan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering), Gie berpendapat bahwa hal ini akan semakin mempersulit kehidupan rakyat Indonesia. Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS), sementara keadaan ekonomi makin kacau. Pada saat itu Gie resah dan mencatat dalam buku hariannya: "Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak." Maka lahirlah Gie-Sang demonstran.
Mulai saat itu, hari-hari Gie diisi dengan berbagai aktivitas di dalam dunia pergerakan seperti rapat-rapat, demonstrasi dan aksi pasang memasang ribuan selebaran propaganda. Ancaman teror serta cacian dari penguasa juga menjadi hal biasa baginya. Ia mengatakan “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas”.
Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, Gie menggabungkan diri di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan berada di barisan paling depan. Namun Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun ‘66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah tetapi ketika lulus, berpihak pada mereka dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan ‘66. Dalam Buku Catatan Seorang Demonstran, Gie mengatakan “Akhir daripada revolusi ini juga memperlihatkan kemampuan mereka sebagai generasi. Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI pada akhirnya menjadi…..pencoleng-pencoleng politik, Agen Opsus, makelar pintu kecil atau politikus kelas tiga. Regu-regu KAPPI yang kerjanya memeras penduduk biasa atas nama perjuangan. Mereka adalah korban-korban daripada demoralisasi masyarakatnya.
Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah.
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Beberapa tulisannya benar-benar tajam dan menohok pemerintah kala itu, sehingga seringkali ia mendapat ancaman dari berbagai pihak. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang”, yang pernah dimuat di harian Kompas, 16 Juli 1969. Dalam tulisannya itu, aktivis gerakan mahasiswa 1966 ini menyoroti kinerja kabinet di bawah Presiden Soeharto. Gie melihat adanya kesenjangan antara persepsi masyarakat luas dengan kinerja pemerintahan Soeharto saat itu. Ia sempat menyebutkan beberapa pejabat pemerintah yang menurutnya melakukan kegiatan diplomasi ke luar negeri untuk sekedar mencari hutang bagi negara.
Pada saat peristiwa G 30 S/PKI meletus, dan Tritura mulai banyak didengungkan. Soe Hok Gie dan rekannya Herman Lantang mengadakan demonstrasi damai didepan kantor Kementrian Minyak dan Pertambangan kala itu. Dan berhasil memaksa menterinya untuk menandatangani penolakan terhadap PKI. Ketika Angkatan ’66 telah berhasil menggulingkan rezim Orla, Soe Hok Gie melakukan penelitian untuk karya tulisnya yaitu Makar G 30 S / PKI dan Akibatnya pada Simpatisan PKI yang mana menunjukkan ribuan simpatisan PKI disiksa dan dibunuh secara keji dan termasuk salah satu peristiwa paling berdarah sepanjang sejarah bangsa ini.
Gie pernah berkata pada Arief, kakaknya, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).
Sumber:
Sejak kecil Gie-panggilang akrabnya, amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebon Jeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satu-satunya adalah Soe Hok Djien yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia.
Gie adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan sejak SMP rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Setelah melewatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius, tahun 1962-1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Ilmu sejarah. Di masa kuliah ini Gie menjadi aktivis kemahasiswaan.
Karier struktural Gie diawali dengan mendirikan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (MaPaLA UI) bersama rekan – rekannya. Setelah itu pernah menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra Universtas Indonesia. Dengan bakat dan kebrilianannya, jabatan sebagai ketua BEM UI mungkin tinggal tunggu waktu saja. Namun dia menolak ketika dicalonkan rekan – rekannya , dan memilih mengajukan salah seorang rekannya yang dianggapnya lebih memiliki kapabilitas yaitu Herman Lantang. Dia lebih memilih berada di balik layar saja. Banyak yang menyayangkan keputusan Soe Hok Gie kala itu. Tetapi Soe Hok Gie lebih memilih menyibukkan dirinya pada dua organisasi yang asyik digelutinya yaitu MaPaLa UI dan sebagai Ketua Senat Fakultas Sastra.
Ketika keadaan perekonomian di tanah air semakin tidak terkendali sebagai akibat adanya depresi perekonomian pada sekitar dekade enam puluhan yang mengakibatkan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering), Gie berpendapat bahwa hal ini akan semakin mempersulit kehidupan rakyat Indonesia. Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS), sementara keadaan ekonomi makin kacau. Pada saat itu Gie resah dan mencatat dalam buku hariannya: "Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak." Maka lahirlah Gie-Sang demonstran.
Mulai saat itu, hari-hari Gie diisi dengan berbagai aktivitas di dalam dunia pergerakan seperti rapat-rapat, demonstrasi dan aksi pasang memasang ribuan selebaran propaganda. Ancaman teror serta cacian dari penguasa juga menjadi hal biasa baginya. Ia mengatakan “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas”.
Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, Gie menggabungkan diri di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan berada di barisan paling depan. Namun Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun ‘66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah tetapi ketika lulus, berpihak pada mereka dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan ‘66. Dalam Buku Catatan Seorang Demonstran, Gie mengatakan “Akhir daripada revolusi ini juga memperlihatkan kemampuan mereka sebagai generasi. Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI pada akhirnya menjadi…..pencoleng-pencoleng politik, Agen Opsus, makelar pintu kecil atau politikus kelas tiga. Regu-regu KAPPI yang kerjanya memeras penduduk biasa atas nama perjuangan. Mereka adalah korban-korban daripada demoralisasi masyarakatnya.
Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah.
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Beberapa tulisannya benar-benar tajam dan menohok pemerintah kala itu, sehingga seringkali ia mendapat ancaman dari berbagai pihak. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang”, yang pernah dimuat di harian Kompas, 16 Juli 1969. Dalam tulisannya itu, aktivis gerakan mahasiswa 1966 ini menyoroti kinerja kabinet di bawah Presiden Soeharto. Gie melihat adanya kesenjangan antara persepsi masyarakat luas dengan kinerja pemerintahan Soeharto saat itu. Ia sempat menyebutkan beberapa pejabat pemerintah yang menurutnya melakukan kegiatan diplomasi ke luar negeri untuk sekedar mencari hutang bagi negara.
Pada saat peristiwa G 30 S/PKI meletus, dan Tritura mulai banyak didengungkan. Soe Hok Gie dan rekannya Herman Lantang mengadakan demonstrasi damai didepan kantor Kementrian Minyak dan Pertambangan kala itu. Dan berhasil memaksa menterinya untuk menandatangani penolakan terhadap PKI. Ketika Angkatan ’66 telah berhasil menggulingkan rezim Orla, Soe Hok Gie melakukan penelitian untuk karya tulisnya yaitu Makar G 30 S / PKI dan Akibatnya pada Simpatisan PKI yang mana menunjukkan ribuan simpatisan PKI disiksa dan dibunuh secara keji dan termasuk salah satu peristiwa paling berdarah sepanjang sejarah bangsa ini.
Gie pernah berkata pada Arief, kakaknya, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).
Sumber:
- http://indonesianyouth.blogspot.com/2006/11/soe-hok-gie-bab-ii-riwayat-hidup.html
- http://www.indomedia.com/intisari/1999/desember/b2_hkgi.htm
- http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie
- http://www.karawanginfo.com/?p=5200
- http://komfis.wordpress.com/2008/05/09/soe-hok-gie/