Kamis, 04 Agustus 2011

Soe Hok Gie

Diposting oleh Profil CHK di 05.54




Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan seorang sastrawan. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Sejak kecil Gie-panggilang akrabnya, amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebon Jeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satu-satunya adalah Soe Hok Djien yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia.

Gie adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan sejak SMP rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Setelah melewatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius, tahun 1962-1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Ilmu sejarah. Di masa kuliah ini Gie menjadi aktivis kemahasiswaan.

Karier struktural Gie diawali dengan mendirikan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (MaPaLA UI) bersama rekan – rekannya. Setelah itu pernah menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra Universtas Indonesia. Dengan bakat dan kebrilianannya, jabatan sebagai ketua BEM UI mungkin tinggal tunggu waktu saja. Namun dia menolak ketika dicalonkan rekan – rekannya , dan memilih mengajukan salah seorang rekannya yang dianggapnya lebih  memiliki kapabilitas yaitu Herman Lantang. Dia lebih memilih berada di balik layar saja. Banyak yang menyayangkan keputusan Soe Hok Gie kala itu. Tetapi Soe Hok Gie lebih memilih menyibukkan dirinya pada dua organisasi yang asyik digelutinya yaitu MaPaLa UI dan sebagai Ketua Senat Fakultas Sastra.

Ketika keadaan perekonomian di tanah air semakin tidak terkendali sebagai akibat adanya depresi perekonomian pada sekitar dekade enam puluhan yang mengakibatkan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering), Gie berpendapat bahwa hal ini akan semakin mempersulit kehidupan rakyat Indonesia. Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS), sementara keadaan ekonomi makin kacau. Pada saat itu Gie resah dan mencatat dalam buku hariannya: "Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak." Maka lahirlah Gie-Sang demonstran.

Mulai saat itu, hari-hari Gie diisi dengan berbagai aktivitas di dalam dunia pergerakan seperti rapat-rapat, demonstrasi dan aksi pasang memasang ribuan selebaran propaganda. Ancaman teror serta cacian dari penguasa juga menjadi hal biasa baginya. Ia mengatakan “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas”.

Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, Gie menggabungkan diri di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan berada di barisan paling depan. Namun Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun ‘66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah tetapi ketika lulus, berpihak pada mereka dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan ‘66. Dalam Buku Catatan Seorang Demonstran, Gie mengatakan “Akhir daripada revolusi ini juga memperlihatkan kemampuan mereka sebagai generasi. Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI pada akhirnya menjadi…..pencoleng-pencoleng politik, Agen Opsus, makelar pintu kecil atau politikus kelas tiga. Regu-regu KAPPI yang kerjanya memeras penduduk biasa atas nama perjuangan. Mereka adalah korban-korban daripada demoralisasi masyarakatnya. 

Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah.

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Beberapa tulisannya benar-benar tajam dan menohok pemerintah kala itu, sehingga seringkali ia mendapat ancaman dari berbagai pihak. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang”, yang pernah dimuat di harian Kompas, 16 Juli 1969. Dalam tulisannya itu, aktivis gerakan mahasiswa 1966 ini menyoroti kinerja kabinet di bawah Presiden Soeharto. Gie melihat adanya kesenjangan antara persepsi masyarakat luas dengan kinerja pemerintahan Soeharto saat itu. Ia sempat menyebutkan beberapa pejabat pemerintah yang menurutnya melakukan kegiatan diplomasi ke luar negeri untuk sekedar mencari hutang bagi negara.

Pada saat peristiwa G 30 S/PKI meletus, dan Tritura mulai banyak didengungkan. Soe Hok Gie dan rekannya Herman Lantang mengadakan demonstrasi damai didepan kantor Kementrian Minyak dan Pertambangan kala itu. Dan berhasil memaksa menterinya untuk menandatangani penolakan terhadap PKI. Ketika Angkatan ’66 telah berhasil menggulingkan rezim Orla, Soe Hok Gie melakukan penelitian untuk karya tulisnya yaitu Makar G 30 S / PKI dan  Akibatnya pada Simpatisan PKI yang mana menunjukkan  ribuan simpatisan PKI disiksa dan dibunuh secara keji dan termasuk salah satu peristiwa paling berdarah sepanjang sejarah bangsa ini.

Gie pernah berkata pada Arief, kakaknya, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).
Sumber:
  • http://indonesianyouth.blogspot.com/2006/11/soe-hok-gie-bab-ii-riwayat-hidup.html
  • http://www.indomedia.com/intisari/1999/desember/b2_hkgi.htm
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie
  • http://www.karawanginfo.com/?p=5200
  • http://komfis.wordpress.com/2008/05/09/soe-hok-gie/

Ia terlahir dengan nama Wage Soepratman pada tanggal 9 Maret 1903 di Dusun Trembelang, Kelurahan Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya yang bernama Jumeno Senen Sastrosuharjo adalah seorang sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan, ia sendiri adalah anak bungsu. Salah satu saudara perempuan Soepratman bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik, seorang Belanda. Kakak iparnya jugalah yang memberi tambahan nama Rudolf, agar bisa terus melanjutkan sekolah hingga lulus. Sejak saat itu, namanya menjadi Wage Rudolf Soepratman.

Ketika berumur 20 tahun, ia menjadi guru di Sekolah Angka 2 di Makassar. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar. Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan koran Kaum Muda Bandung, lalu menjadi pemimpin redaksi Kaoem Kita dan mendirikan Kantor Berita Alphena bersama P. Harahap, terakhir ia pindah ke Sin Po sebuah Koran Cina Melayu sebagai pembantu lepas. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda. Di dalam dunia jurnalistik, ia pernah bekerja di Koran Kaoem Moeda, Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang namun tidak lama setelah itu ia meminta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Di Makassar, Roekijem, saudara perempuan Soepratman sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik. Ia juga memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga ia pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu.

Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Merasa tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.

Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kodisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka. Setelah dikumandangkan 1928, pemerintah kolonial Hindia Belanda melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya. Belanda ternyata gentar dengan konsep kebangsaan Indonesia. Mereka lebih suka menyebut bangsa Jawa, bangsa Sunda, atau bangsa Sumatra. Mereka juga melarang penggunaan kata  “Merdeka”dalam lagu Indonesia Raya. "Untuk apa ada lagu kebangsaan bagi sebuah bangsa yang tidak ada," kata Jonkheer de Fraeff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika itu. Hebatnya, semakin dilarang Belanda, kian kuatlah Indonesia Raya menjadi penyemangat dan perekat bangsa Indonesia.

Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya,  WR Soepratman selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM jalan Embong Malang - Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok-Surabaya. W.R. Soepratman juga menciptakan lagu Ibu Kita Kartini, Di Timur Matahari, Bangunlah Wahai Kawan, dan Matahari terbit.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan. Ia meninggal tepat tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1938 pada usia 35 tahun karena sakit paru-paru yang dideritanya dan dimakamkan di Pekuburan Kapas Kampung, Kenjeran, Surabaya. Jenazahnya dimakamkan di Jalan Kenjeran Surabaya.

Kepenatan, keraguan, kebimbanganmu akan hilang, seiring tilawahmu yang kau baca perlahan.. #karenaQuranAdalahObat

quotes An Nisa San likes


"Setiap hari cinta harus ditumbuhkan dengan berbagai cara. Cinta harus tumbuh menembus semua rintangan. Kuncup-kuncupnya tak boleh merekah semua seketika, untuk kemudian layu. Ranting dan pokoknya harus kuat menjulang. Cinta harus ditumbuhkan sepanjang usia dengan bunga-bunganya yang bertaburan di sepanjang jalan kesetiaan. Jalan yang ditapaki dengan riang di bumi dan semoga kelak mempertemukan kita kembali dengannya di surga"— Helvy Tiana Rosa

Popular Posts

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(3:31) ^

si unyu

 

Melukis Warna Kalbu Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea