Selasa, 28 Agustus 2012

Penyu hanya punya 1 Pasangan

Diposting oleh Profil CHK di 18.30

"Dan ajaib, inilah yang jarang diketahui banyak orang, penyu hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya. Saat mereka kembali untuk pertama-kalinya, mereka secara naluriah, akan jatuh cinta dengan penyu betina yang dulu pertama kali ditemuinya. Saat membentuk barisan di pantai dulu, saat kanak-kanak. Itulah yang akan menjadi pasangan sehidup-semati. Saat mereka bertemu kembali, mereka akan melakukan tarian penyu. Setelah induk betina bertelur, pasangan itu berpisah lagi. Menjelajahi samudera luas.

Musim berlalu, ketika musim kawin tiba, mereka akan kembali. Kembali meski terluka, tidak peduli batok keras mereka retak, tangan-tangan lumpuh. Kembali menemukan pasangannya dulu. Tidak tertukar. Tidak berganti. Sejauh apapun mereka menjelajahi lautan. Sejauh apa pun mereka melihat sudut dunia. Secantik apa pun penyu betina lain yang ditemukannya.

Mereka akan kembali. Kembali ke takdir pasangannya. Karena itulah janji setia penyu. Terucapkan saat kaki-kaki kecil mereka, kaki-kaki kanak-kanak mereka menuju lautan luas. Janji setia pada takdir pasangannya."


Tere Liye dalam “Sunset Bersama Rosie”



    

Peaceful

Diposting oleh Profil CHK di 05.31








Minggu, 26 Agustus 2012

Sudah Jalannya. . .

Diposting oleh Profil CHK di 20.49
     Setelah baca tulisan teman di blognya, ga sengaja ketemu pas nyari-nyari resep donat kentang, aku bener-bener tersadar, aku ga sendiri. sedih banget bacanya, aku ga menyangka dengan apa yang dialaminya , sangat kontras dengan dia yang selama ini aku kenal, dia yang selalu ceria,bahkan status di fbnya pun ga pernah yang sedih-sedih, orangnya kocak dan apa adanya. Aku benar-benar sangat terinspirasi dengan tulisannya, dengan keadaan kita yang sama, tapi dia lebih punya kualitas hidup dan semangat yang lebih baik dari pada aku. Tapi yang terpenting dia tak malu menceritakan keadaan yang sebenarnya, karena ini bukan aib ini adalah keadaan yang sebenarnya ,ini takdir Tuhan. Dia Percaya bahwa setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dan tetap optimis dengan kehidupannya, walaupun dia tak tahu sampai kapan ini akan berakhir. Tetap mengasihi dan mendoakan walaupun kemungkinan untuk sembuh bisa dibilang sangat tipis.  Semua tergantung Kuasa Allah.
    Sedangkan aku? aku masih saja merasa malu, aku seakan berusaha menutupi segalanya dan aku berlagak baik-baik saja, padahal aku saja terlalu sakit walaupun hanya untuk menyimpannya. Aku selalu punya alasan jitu kalau ada yang bertanya, aku jawab ini itu, padahal aku tau jelas mereka sudah tau yang sebenarnya, tak tau kenapa aku tetap saja menutupinya. Tapi rasanya aku belum siap kalau ada teman-teman ku yang sekarang tau. Aku masih berpikir mungkin memang hanya teman-teman dekatku saja yang bisa menerima keadaanku apa adanya. Aku hanya tak mau kalau mereka tau, ini hanya akan menjadi bahan hinaan yang tak teruangkap, aku tak ingin siapapun menyakitinya dengan cara pandang mereka yang keliru. Seiring berjalannya waktu Aku juga seakan kehilangan keyakinan kalau semua ini akan berakhir. Seminggu,sebulan, setahun,dua,tiga,hingga empat tahun, dan ternyata Allah belum memberikan kesembuhan.Agak sedih pas ngumpul  ada temen2 kuliah yang ceritain keadaan keluarga temen kita  sendiri "si dia" bla bla bla, dan aku sadar cara pandang mereka masih sempit.  
Dalam kehidupan, aku percaya bahwa Allah sudah mengatur sebaik-baiknya, ada hikmah yang diberikan Allah, walaupun sampai sekarang aku masih menggali apa hikmah sebenarnya dari semua yang kami alami ini. Akan ada saatnya nanti aku siap dan aku akan jujur, karena ini bukan aib, ini adalah takdir. Dan aku harap perlakuan kalian tetep sama ke aku, karena ini jalan hidup kami, dan masing-masing orang punya jalannya sendiri.Walaupun kadang ngiri kalau ada temen yang sering banget cerita kebahagian tentang*********** (walaupun ga niat pamer) rasanya nyesek aja kalau pas lagi sedih. Yah but it's they life dan aku punya kehidupan sendiri. Ya sudahlah malah jadi inget yang sedih-sedih, sudah sudah jalani hidup dengan tegar dan harus selalu bahagia dan gembira ria...muehehe. inget Allah gak kan ninggalin hambaNYA. 

Jumat, 24 Agustus 2012

Semangat baru

Diposting oleh Profil CHK di 20.09
Sekarang bukan waktu untuk selalu melihat kebelakang, sekarang bukan waktunya untuk selalu melow-melow kalau lagi sedih, sekarang bukan waktunya untuk selalu menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan dan menyalahkan apapun siapapun, tapi sekarang adalah waktunya berjuang, berjuang melawan diri sendiri dengan segala hal-hal negatif yang ada didalamnya, berjuang melawan kemalasan-kemalasan dan kelebay-lebay'an yang gak penting untuk dilestarikan.

Jualan

Diposting oleh Profil CHK di 07.18

IDR Rp 135rbu, all size 



IDR Rp 140rbu, size M




SMS KE 089673611050

Kamis, 23 Agustus 2012

Lihat dan Dengarlah

Diposting oleh Profil CHK di 11.21

Aku,
mungkin adalah masa lalu yang sudah terlanjur berlalu.
Mungkin belum lama,
namun kau sudah terlanjur memalingkan muka.

Aku,
mungkin adalah cerita usang,
yang sudah kau putuskan untuk kau buang.
Namun ingatlah, sayang.
Selalu ada aku, saat kau melihat ke belakang.

Kamu,
mungkin…





by : karena puisi itu indah (Tia Setiawati Priatna)

Minggu, 19 Agustus 2012

Jualan

Diposting oleh Profil CHK di 19.14

1


IDR 185rbu , all size

2


IDR 169rb, all size

3

IDR 155rbu, fit to XL

4

140rbu, size M

5

Maxi denim renda emas

IDR 160rbu, all size

6

IDR 170rbu, all size

7

IDR 170rbu, size M

8

IDR 150rbu, fit to XL
(lebar dada 43 cm,panjang lengan 52cm)


Serius,minat sms ke  089673611040 



Sabtu, 18 Agustus 2012

Tere Liye

Diposting oleh Profil CHK di 08.02

Jumat, 17 Agustus 2012

I Love The Rain

Diposting oleh Profil CHK di 20.43










Selasa, 14 Agustus 2012

10 Kisah Lucu Penuh Motivasi

Diposting oleh Profil CHK di 15.40

1. Setelah makan malam, seorang ibu dan putrinya bersama-sama mencuci mangkuk dan piring, sedangkan ayah dan putranya menonton TV di ruang tamu. 

Mendadak, dari arah dapur terdengar suara piring yang pecah, kemudian sunyi senyap. Si putra memandang ke arah ayahnya dan berkata, “Pasti ibu yang memecahkan piring itu.” “Bagaimana kamu tahu?” kata si Ayah. “Karena tak terdengar suara dia memarahi orang lain,” sahut anaknya. 

Kita semua sudah terbiasa menggunakan standar yang berbeda melihat orang lain dan memandang diri sendiri, sehingga acapkali kita menuntut orang lain dengan serius, tetapi memperlakukan diri sendiri dengan penuh toleran.
2. Ada dua grup pariwisata yang pergi bertamasya ke pulau Yi Do di Jepang. Kondisi jalannya sangat buruk, sepanjang jalan terdapat banyak lubang. Salah satu pemandu berulang-ulang mengatakan keadaan jalannya rusak parah dan tak terawat. 

Sedangkan pemandu yang satunya lagi berbicara kepada para turisnya dengan nada puitis, “Yang kita lalui sekarang ini adalah jalan protokol ternama di Yi Do yang bernama jalan berdekik yang mempesona.” 

Walaupun keadaannya sama, namun pikiran yang berbeda akan menimbulkan sikap yang berbeda pula. Pikiran adalah suatu hal yang sangat menakjubkan, bagaimana berpikir, keputusan berada di tangan Anda.

Kesalahan fatal sistem pendidikan Indonesia

Diposting oleh Profil CHK di 15.32

Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)


LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. KITA TIDAK DAPAT MENGUKUR PRESTASI ORANG LAIN MENURUT UKURAN KITA.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan ENCOURAGEMENT, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

SEKOLAH yang membuat kita TIDAK NYAMAN mungkin telah membuat kita MENJADI LEBIH DISIPLIN. Namun di lain pihak dia juga bisa MEMATIKAN INISIATIF dan MENGENDURKAN SEMANGAT. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

~✿ Aku Bangga Jadi Wanita ✿~

Diposting oleh Profil CHK di 15.03

Aku bangga terlahir sebagai seorang wanita. Begitu mulianya seorang wanita, sehingga Allah meletakkan surga di bawah telapak kaki seorang ibu. Begitu mulianya seorang wanita, sehingga Allah menyematkan wanita sholehah sebagai perhiasan dunia yang terindah. Begitu mulianya seorang wanita, sehingga Rasul mengatakan seorang wanita sholehah lebih baik daripada 1000 lelaki yang sholeh.

Aku lalu bertanya, sesungguhnya apa yang membuatku bisa begitu mulia? Apakah ketika aku menjadi seorang wanita karir? Apakah ketika aku bisa merebut posisi laki-laki di ranah pekerjaan? Apakah ketika aku bisa menjadi pemimpin kaum lelaki? Apakah ketika aku bergelar sarjana, master dan doktor? Apakah ketika pesona tubuhku melenakan jutaaan pasang mata yang melihatnya? Apakah ketika aku merasa bisa berdiri sejajar dengan kaum lelaki di sektor publik?

Aku terlahir sebagai wanita yang kusadari memang ada yang berbeda. Aku memiliki kelembutan untuk menyayangimu. Aku memiliki kesabaran untuk menjadi sandaranmu. Aku memiliki ilmu untuk membantumu. Aku memiliki cinta untuk menjadikanmu nyaman dengan kehadiranku. Aku memiliki rasa hormat untuk membuatmu menjadi dihargai. Aku memiliki ketegasan untuk menjaga kehormatanku.

Wanita menjadi mulia saat ia bisa menjadi seorang istri yang bisa mendukung perjuangan suami, menjadi seorang ibu yang bisa mencetak generasi idaman umat, menjadi anggota masyarakat yang bisa berperan dalam lingkungannya, dan menjadi seorang hamba yang takut pada Rabbnya.

Wanita menjadi mulia saat tak silau oleh bujuk rayu dunia, tak luntur oleh terpaan badai ujian, tak goyah oleh kilauan permata, tak runtuh oleh ganasnya gelombang badai kehidupan, dan menjadi sosok yang tegar sekuat batu karang.

Wanita menjadi mulia bukan karena balutan busana seksinya. Ia menjadi mulia dengan hijabnya, hijab yang hanya akan dibuka pada orang yang layak untuknya. Karena Ia laksana mutiara di tengah lautan, yang tidak sembarangan orang bisa menyentuhnya, bukan laksana mawar di pinggir jalan yang setiap orang bisa memetiknya bahkan membuangnya sesuka hatinya.

Wanita tak akan menurun kemuliannya saat tidak dianggap berkulit putih, bertubuh langsing, berambut lurus, berwajah cantik, dan berbarang merk mahal dan terkenal. Tapi dia akan menunjukkan diri dengan akhlak mulianya, kelembutan hatinya, kesantunan lisannya, ketulusan senyumnya, keteduhan pandangannya, kecerdasan fikir dan emosinya, serta keteguhan sikapnya.

Wanita tak lebih menurun kemuliannya ketika Ia hanya menjadi ibu rumah tangga. Bahkan itu adalah profesi paling mulia bagi seorang wanita, ummu warobatul bait, yang dimata para feminis dan pejuang gender tak ada nilainya. Bukankah kemuliaan tertinggi hanya di mata Allah? Dan menjadi ibu dan pengatur rumah tangga adalah multiprofesi tanpa gaji tapi berpahala tinggi. Di tangan seorang istrilah dukungan utama perjuangan suami, sandaran rasa lelah suami, tempat terindah keluh kesah suami, dan hiburan paling mujarab bagi suami.

Di tangan seorang ibu lah generasi dilahirkan, dipersiapkan, dididik dan diperhatikan. Dialah madrasah pertama dan utama, yang melahirkan calon-calon generasi andalan umat. Dialah manajer rumah tangga paling handal, direktur keuangan paling mumpuni dan partner paling hebat untuk keluarga, yang menjadikan rumahnya adalah baity jannati bagi siapa saja yang berada bersamanya.

Maka berbanggalah dengan peranmu wahai wanita, dan jadikanlah dirimu sebenar-benar perhiasan dunia.


Lembut mu tak berarti kau mudah dijual beli
Kau mampu menyaingi lelaki dalam berbakti
Lembut bukan hiasan bukan jua kebanggaan
Tapi kau sayap kiri pada suami yang sejati

Disebalik bersih wajah mu disebalik tabir diri mu
Ada rahasia agung tersembunyi dalam diri
Itulah sekeping hati yang takut pada ilahi
Berpegang pada janji mengabdikan diri

Malu mu mahkota yang tidak perlukan singgasana
Tapi ia berkuasa menjaga diri dan nama
Tiada siapa yang akan boleh merampasnya
Melainkan kau sendiri yang ikhlas dan terikat ikatan suci

Ketegasan mu umpama benteng negara dan agama
Dari dirobohkan dan jua dari dibinasakannya
Wahai puteriku sayang kau bunga terpelihara
Mahligai syurga itulah tempatnya

-kutipan-
Senyum (✿◠‿◠)
Annisa Mutiara Hati

♥ ♥ ♥ ♥ Pesan Untuk Si Dia ♥ ♥ ♥ ♥

Diposting oleh Profil CHK di 14.57

Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari, mari perbanyak doa, semoga bulan yang suci ini menjadi berkah untuk kita semua,amiiin. 

~~ Wahai si dia yang sabar,
Aku wanita yang kadangkala sikapnya mudah berubah-ubah. Kadangkala tersenyum, kadangkala berduka. Ada kalanya aku mudah menuturkan kata-kata yang tajamnya seperti pedang dan mungkin tanpa kusedar, hatimu kusakiti. Maafkan aku sekiranya sikap ini mendatangkan ketidaksenanganmu. Kerna itu, aku harap agar engkau sabar melayan tingkahku. Kerna itu jua, aku harap agar engkau sabar menegurku.

~~ Wahai si dia yang gagah,
Aku wanita yang sering disinonimkan sebagai kaum lemah. Meski ada padaku seni mempertahankan diri, kepetahan mematahkan hujah kata-kata bingit manusia lain, aku tetap memerlukanmu untuk melindungiku. Aku tetap memerlukan kata-kata luhurmu untuk menyejukkan jiwaku yang mudah dijentik. Kerna itu, aku harap agar engkau gagah menyelusuri jalan-jalan kehidupan bersama-samaku. Moga engkau tak jemu.

~~ Wahai si dia yang memimpin,
Aku wanita yang kadangkala tidak tahu arah tujunya. Mudah terpengaruh dengan apa yang dilihat dan didengar kerana hati ini lembut dan mudah cemburu. Mudah sahaja dilenturkan keputusan yang muktamadnya masih goyah. Kerna itu, aku mohon agar engkau dapat memimpinku dalam melakukan keputusan. Kerna itu, aku mohon agar sikap pemimpinmu mampu membawaku bersama-sama melayari bahtera jalannya Allah.

~~ Wahai si dia yang masih menjadi kerahsiaan Allah,
Aku pinta kepada Dia untuk kurniakan aku kesabaran menantimu,
Wahai si dia yang masih menjadi kerahsiaan Allah,
Aku pinta kepada Dia untuk memeliharaku dari lincah dunia,
Kerna aku berharap engkaulah satu-satunya adam yang berhak ke atas diriku.

Sesungguhnya, aku menantimu untuk menyuntingku menjadi permaisuri hatimu wahai si dia yang masih menjadi kerahsiaan Allah...


kutipan: http://cintaimutzkhay.blogspot.com/2011/05/pesan-untuk-si-dia.html

Minggu, 12 Agustus 2012

Cermin Terakhir

Diposting oleh Profil CHK di 08.29
Pernahkah mendengar bunyi napas yang diseret? Bukan tarikan napas, tapi seretan napas. Jika tarikan napas bisa saja sama dengan desah napas biasa, tapi seretan napas terdengar lebih buruk dan lebih memprihatinkan ketimbang suara napas orang yang sedang terserang asma akut.

Tahukah rasana bagaimana ditatap oleh mata yang polos? Bukan tatapan kosong, bukan pula tatapan lugu, tatapan polos. Tak ada rasa, tak ada citra, tak ada apa-apa?

Baiklah, teruskan membaca tulisannya.

Hari ini, 12 agustus 2012, tidaklah aku memejamkan mata dari tadi malam untuk tidur kecuali hanya beberapa menit saja, yaitu ketika jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Saat itu kutinggalkan mesjid menuju rumah, tujuannya untuk makan sahur dengan keluarga.

Selesainya dengan sahur dan berwudhu, aku kembali ke mesjid. Iqamah subuh dikumandangkan. Imam kami maju kedepan, mulailah takbir.

Ketika fatihah terlantun, pendengaranku sedikit terusik, yang lama kelamaan memang aku merasakan sesuatu yang mengusik. Awalnya kudengar suara tarikan napas yang cepat, pendek, berkejaran. Semakin suasana hening kecuali suara bacaan imam, semakin tarikan napas itu kurasakan seperti suara seretan udara di hidung.

Aku bisa merasakan bagaimana sulitnya paru-paru untuk menarik oksigen, aku tau itu karena aku punya penyakin asma, jadi sudah sangat kenal dengan yang namanya kesulitan menarik napas.

Semakin lama, tak ada kekhusuakan dalam shalatku, tak ada kekhidmatan dalam mendengar lantunan imam. Yang ada adalah pikiranku terkait terus pada suara yang datang dari saf pertama paling ujung sebelah kiri, sementara posisiku berada di saf pertama paling kanan.

Terus dan terus, seretan napas itu terdengar, hingga spontan kepalaku tak lagi berusaha mendengarkan bacaan imam, tapi malah berputar. Aku berpikir bahwa nanti setelah selesai shalat, akan kutarawarkan orang yang kesulitan bernapas itu obat ventolin inhaler, itu obat spray yang bisa menanggulangi asma dalam hitungan detik.

Kutunggu rakaat pertama usai, tapi yang terjadi adalah suara seretan napas orang di ujung sana sepertinya berasa lebih mengerikan daripada asma terakut yang pernah kurasa. Aku jadi berpikir itu seperti suara endusan napas harimau setelah keletihan mengejar-ngejar mangsangya. Selanjutnya aku malah berpikir mungkinkah orang itu kesurupan Jin? Ah tidak, toh dia tidak membuat kegaduhan, saat rukuk, saat sujud, aku tau dia mengikutinya dari tarikan dan hembusan napas yang terpantul di karpet mesjid. Tinggi rendahnya kurasakan.

Semakin jauh shalat, semakin suara itu terdengar lebih berat, terus berkejaran. Aku sampai merasa sesak sendiri. Terlebih ketika sujud, sangat kurasakan kesulitannya bernapas, karena napas yang ditarik dan dihembuskannya terpantul sangat dekat ke karpet mesjid dan posisi kepalaku pastinya sejajar dengan dia karena keningku sedang menempel di karpet, sehingga itu membuat seretan napasnya terdengar lebih jelas.

Salam pun berakhir ke sebelah kiri. Aku segera mengambil ventolin inhaler dari dalam kantong.
 Aku dekati dia.

“Dek ...”
 Kupanggil dia begitu karena terlihat usianya belum melebihi kepala dua. Aku tak kenal dia, sepertinya memang bukan orang sini, atau aku yang tak pernah bertemu karena sembilan tahun terakhir domisiliku di luar tanah kelahiran ini.

“Kamu asma?”
 Dia menggelengkan kepala

“Sesak napas?”
 Dia kembali menggelengkan kepala. Kemudian aku sentuh pundaknya.

Dia mengangkat kepala, dan wajahnya berputar ke arahku, ia memandangku.
Saat itu juga bulu di tengkuk perlahan berdiri.

Tatapannya itu ... tidak kosaong, tidak tajam, tidak mengerikan, tapi ... ah aku tak menemukan kata untuk menggambarkannya selain;  tatapannya polos, tak berasa.

“Coba pakai obatku ini, insya Allah bisa menanggulangi sesak napasmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan disela kesulitan menarik napas. Para jama’ah sudah sedari tadi melihat-lihat dia, bertanya ini itu, tapi karena aku yang paling dekat posisi duduknya dengan dia, wajahnya pun hanya tertuju padaku.

“Panggilkan ibu kak, tolong panggilkan ibuku,” pintanya lemah.

“Ibumu siapa? Rumahmu di mana?”

“Panggilkan saja, cepat panggilkan.”

Belum aku bertanya lagi, pintu mesjid ada yang membuka, dan masuk seorang ibu seusiaan ibuku, usianya kutaksir 50 tahunan.

“Ayo pulang nak, ayo ke rumah,” ucap si ibu pada anak yang sedari tadi menyeret napasnya itu dengan susah, payah.

“Nggak, aku mau disini.”

“Ayo pulang saja, kamu istirahat di rumah.”

“Nggak mau, aku mau di sini.”

Ibunya pun memeluk dia, dan si anak berujar lemah, “Maafin aku bu, aku minta maaf untuk semua salahku.”
 Aku semakin merinding mendengarnya.

“Anaknya kenapa Bu? Punya peyakit asma?”
 Si ibu memandangku karena pertanyaan itu.

“Sudah dua hari ini dia muntah-muntah, mengeluh kepalanya pusing, tidak bisa tidur.”
 Ibu itu memalingkan pandangan dariku ke anaknya. “Ayo kita pulang nak ....”

“Nggak, aku mau disini.”

Aku sentuh tangannya ... sedikit lebih dingin dari suhu tubuhku.

Napasnya semakin cepat. Semakin jelas terdengar. Lama-lama aku ngeri sendiri dengan kondisi ini.

Akhirnya aku berinisiatif untuk memberikan ventolin inhaler itu tanpa peduli dia mengatakan tak sesak atau tak asma, karena jelas-jelas dia kesulitan memasukkan udara ke paru-parunya.

“Buka mulutnya ya,” ucapku perlahan. “Nanti hisap napas panjang dan akan kutekan obat ini, setelah itu tahan sejenak di dada, baru keluarkan lagi napasnya.”

Dia menggelengkan kepala tanpa suara. Menolak.

Aku masa bodoh.
Kuhampirkan saja ujung obat itu ke mulutnya, dia pun membuka mulut itu. Kutekan ventolin-nya. Oksigen dari dalamnya terhembus di dalam mulutnya. Dia menahan napas, kemudian dikeluarkan.

Kutunggu reaksinya ... tak membaik juga. Kuulangi lagi. Tetapi tidak ada perubahan. Padahal sesak napas terparahku saja akan reda dalam semprotan obat kedua kalinya. Tapi, dia tidak.

“Pulang yuk, kita pulang saja,” Ibu itu kembali merajuk, dan jawaban serupa dilontarkan anaknya.

“Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirih ucap mulutnya.

Ia kemudian memandangku.
Tatapannya polos.

“Kak, maafin aku, maafin aku.”
Ia mengambil tanganku dan menyalaminya.
Dingin. Tangannya jauh lebih dingin. Suhunya tidak seperti beberapa saat yang lalu saat kupegang. Sekarang jauh lebih dingin.

Ia kemudian menoleh ke jama’ah di belakangnya.
“Pak, maafin aku ....”

Terus memandangi semua jama’ah yang ada di mesjid.
“Semuanya, aku minta maaf.”

“Sudah dimaafkan, sekarang pulang dan istirahatlah di rumah, biar ibumu panggilkan dokter,” semua menjawab sama.
Ia menggelengkan kepala.

Anak itu lantas mendekati imam kami dan mencium tangannya, “Maafin aku pak Haji, maafin.”
Ia terisak. Bersujud di hadapan imam kami.

“Iya, sekarang pulanglah,” itu kalimat kesekian yang serupa dari imam kami.

Anak itu pun kembali dibujuk ibunya pulang, tetap tak mau.
Dia bangkit dari sujudnya, napasnya masih diseret, berat. Kemudian ia melihat ke pojok mesjid dimana tangga menuju lantai dua mesjid ada di sana.

“Kak siapa itu?” Ia menunjuk ke sudut mesjid sambil bertanya padaku.
“Mana? tak ada siapa-siapa di sana!” jawabku bingung.
“Itu yang disitu siapa?”
Ibunya pun mengatakan hal yang serupa dengan ucapanku.

Anak itu kemudian sujud lagi dan berulang-ulang membaca istighfar.

Apa ini?
Kenapa dengannya?
Apakah dia ...
Ah, aku tak berani berandai-andai. Tak lama berselang, kerabatnya datang dari luar mesjid, membujuk, merayu, dan memaksa dia keluar dari mesjid untuk pulang ke rumah sebelum dipanggilkan doketer.

Dia tidak mau. Dia terus bersujud sambil beristighfar.

“Dari semalam dia memaksa ingin shalat di mesjid, sebelumnya tak pernah, tapi sekarang dia memaksa ibu untuk mebawanya ke mesjid,” ucap ibu itu.

Kerabatnya pun berhasil mencengkeram tangan dan pundaknya. Dengan dibantu jama’ah yang lain , anak itu pun terangkat dari sujudnya. Kusaksikan warna kulit wajahnya membening. Bukan memutih, tapi membening. Lebih bersih.

Napasnya semakin cepat, berkejaran.
Diseret. Pendek. Berat.
Sepertinya udara seolah-olah berserat bagi hidung dan paru-parunya.

Dan ...
Ending kisah ini tak mampu kutuliskan.
Tak kuasa kugambarkan, karena kusaksikan sendiri ia dengan mata kepala ini.

Tak bisa, cukup sampai di sini saja.
Yang jelas ia terlentang di atas karpet mesjid.

Tubuhnya melemah.
Matanya sayu, meredup.

Aku menangis menyaksikannya.
Meski aku tak mengenalnya, tapi batinku ciut  melihat kejadian apa yang dialaminyai.

Cukup selesai sampai di sini.
Berakhir.
[ ]

Apakah kalian berfikir aku menulis cerita fiksi?
Apakah kalian menyangka kisah di atas hanya omong kosong belaka?

Bacalah sekali lagi dari atas, perhatikan apakah aku membumbui tulisan ini dengan bahasa-bahasa hiperbola ala khayangan?

Apakah penggamabaran setting tempat begitu detail kulukiskan?
Apakah nama-nama tokoh kumunculkan dengan karakter masing-masing?
Apakah konflik yang ada terkesan diada-adakan?
Maka kalian akan menemukan jawabannya adalah, TIDAK!

Lantas untuk apa kutulis ini?
Apa sekedar untuk menghibur kalian?
Atau untuk menakuti-nakuti para?

Demi Allah, tidaklah aku tulis ini semua, kecuali ketakutanku mendapatkan pertanyaan serupa ini nanti di akhirat:

Apakah engkau menyaksikan pelajaran berujungnya kehidupan di tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, jam sekian, atas seorang anak di mesjid Al-Hidayah, Garut?
Aku pasti menjawab “Iya, saya menyaksikan.”

Apakah engkau bisa mengambil pelajaran dari kekuasaan Tuhanmu pada kejadian itu?
“Ya, saya memahaminya?”

Lantas, kenapa engkau tidak menyampaikan pelajaran itu pada orang-orang di sekitarmu?
Kenapa engkau tidak memberikan peringatan atas kejadian itu sebagai pelajaran bagi mereka yang masih diberi kesempatan hidup di dunia?

Maka, jika tak kutuliskan ini, aku khawatir mendapat pertanyaan seperti itu dan tak dapat menjawabnya. Sungguh, pertanggungjawaban di akhirat beribu kali lipat lebih berat dari pada di dunia.
Maka ingin kugugurkan kewajiban penyampaian itu lewat tulisan ini.

Dan sekarang, tahukan bagaimana rasanya ditarik ruh dari jasad?

Jawabannya pasti tidak, karena aku (kalian) belum merasakannya, tapi Allah memberikan gambarannya lewat-orang-orang yang selesai masa hidupnya di dunia untuk menuju alam setelahnya. Salah satunya,  ketika Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dicabut nyawa;

... ....
Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah. Ketika roh baginda sampai di pusat perut, baginda berkata: “Wahai Jibril, alangkah pedihnya maut.”

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam, Jibril as memalingkan mukanya.

Lalu Rasulullah SAW bertanya: “Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka memandang mukaku? Jibril menjawab: “Wahai kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat muka baginda, sedangkan baginda sedang merasakan sakitnya maut?”
... ....

Itu gambaran kesakitan bagaimana proses dicabutnya ruh, Rasulullah saja yang notabene mahluk paling dicintai dan disayangi Allah, merasakan sakit tak terperi, apatah lagi aku (kalian) yang ... ah tak ada apa-apanya dibandingkan Rasulullah dalam ketaatan, kemuliaan, kedudkannya dihadapan Allah. Beliau shalallahu alaihi wassalam dicabut ruh nya dengan sangat pelan, lembut, berhati-hati, penuh kasih sayang, merasakan sakitnya begitu hebat. Lantas, seperti apakah yang akan aku (kalian) rasakan? Adakah dicabut dari ubun-ubun dengan kasar tanpa belas kasihan?

Oleh karena itu, aku berharap tulisan ini memberi manfaat, bisa dijadikan CERMIN untuk diriku (kalian) dalam usaha mempersiapkan diri, karena aku (kalian) tidak pernah tahu kapan napas TERAKHIR itu tiba.

Bisa jadi tahun depan, mungkin bulan depan, bisa saja beberapa jam lagi, atau mungkin setelah selesai membaca tulisan ini? Wallahu a’lam bishawab.

Maka dari itu ...

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan sub judul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]

Sekian.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Catatan: Jika tulisan ini memberi manfaat dan pelajaran, sampaikanlah pada orang disekitarmu, karena tidak semua orang punya kesempatan dan mau membaca.

Rabb, aku mohon maaf atas terbaginya hati dan pikiranku dalam shalat. Aku memohon padamu untuk memberikan anak itu akhir yang baik, dan tempat tepuji di sisi-Mu
Garut, 12 Agustus 2012,
Kun Geia.


Kepenatan, keraguan, kebimbanganmu akan hilang, seiring tilawahmu yang kau baca perlahan.. #karenaQuranAdalahObat

quotes An Nisa San likes


"Setiap hari cinta harus ditumbuhkan dengan berbagai cara. Cinta harus tumbuh menembus semua rintangan. Kuncup-kuncupnya tak boleh merekah semua seketika, untuk kemudian layu. Ranting dan pokoknya harus kuat menjulang. Cinta harus ditumbuhkan sepanjang usia dengan bunga-bunganya yang bertaburan di sepanjang jalan kesetiaan. Jalan yang ditapaki dengan riang di bumi dan semoga kelak mempertemukan kita kembali dengannya di surga"— Helvy Tiana Rosa

Popular Posts

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(3:31) ^

si unyu

 

Melukis Warna Kalbu Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea