Pernahkah mendengar bunyi napas yang diseret? Bukan tarikan
napas, tapi seretan napas. Jika tarikan napas bisa saja sama dengan desah napas
biasa, tapi seretan napas terdengar lebih buruk dan lebih memprihatinkan
ketimbang suara napas orang yang sedang terserang asma akut.
Tahukah rasana bagaimana ditatap oleh mata yang polos? Bukan
tatapan kosong, bukan pula tatapan lugu, tatapan polos. Tak ada rasa, tak ada
citra, tak ada apa-apa?
Baiklah, teruskan membaca tulisannya.
Hari ini, 12 agustus 2012, tidaklah aku memejamkan mata dari
tadi malam untuk tidur kecuali hanya beberapa menit saja, yaitu ketika jam
menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Saat itu kutinggalkan mesjid menuju rumah,
tujuannya untuk makan sahur dengan keluarga.
Selesainya dengan sahur dan berwudhu, aku kembali ke mesjid.
Iqamah subuh dikumandangkan. Imam kami maju kedepan, mulailah takbir.
Ketika fatihah terlantun, pendengaranku sedikit terusik, yang
lama kelamaan memang aku merasakan sesuatu yang mengusik. Awalnya kudengar
suara tarikan napas yang cepat, pendek, berkejaran. Semakin suasana hening
kecuali suara bacaan imam, semakin tarikan napas itu kurasakan seperti suara
seretan udara di hidung.
Aku bisa merasakan bagaimana sulitnya paru-paru untuk menarik
oksigen, aku tau itu karena aku punya penyakin asma, jadi sudah sangat kenal
dengan yang namanya kesulitan menarik napas.
Semakin lama, tak ada kekhusuakan dalam shalatku, tak ada
kekhidmatan dalam mendengar lantunan imam. Yang ada adalah pikiranku terkait
terus pada suara yang datang dari saf pertama paling ujung sebelah kiri,
sementara posisiku berada di saf pertama paling kanan.
Terus dan terus, seretan napas itu terdengar, hingga spontan
kepalaku tak lagi berusaha mendengarkan bacaan imam, tapi malah berputar. Aku
berpikir bahwa nanti setelah selesai shalat, akan kutarawarkan orang yang
kesulitan bernapas itu obat ventolin inhaler, itu obat spray yang bisa
menanggulangi asma dalam hitungan detik.
Kutunggu rakaat pertama usai, tapi yang terjadi adalah suara
seretan napas orang di ujung sana sepertinya berasa lebih mengerikan daripada
asma terakut yang pernah kurasa. Aku jadi berpikir itu seperti suara endusan
napas harimau setelah keletihan mengejar-ngejar mangsangya. Selanjutnya aku
malah berpikir mungkinkah orang itu kesurupan Jin? Ah tidak, toh dia tidak
membuat kegaduhan, saat rukuk, saat sujud, aku tau dia mengikutinya dari
tarikan dan hembusan napas yang terpantul di karpet mesjid. Tinggi rendahnya
kurasakan.
Semakin jauh shalat, semakin suara itu terdengar lebih berat,
terus berkejaran. Aku sampai merasa sesak sendiri. Terlebih ketika sujud,
sangat kurasakan kesulitannya bernapas, karena napas yang ditarik dan
dihembuskannya terpantul sangat dekat ke karpet mesjid dan posisi kepalaku pastinya
sejajar dengan dia karena keningku sedang menempel di karpet, sehingga itu
membuat seretan napasnya terdengar lebih jelas.
Salam pun berakhir ke sebelah kiri. Aku segera mengambil
ventolin inhaler dari dalam kantong.
Aku dekati dia.
“Dek ...”
Kupanggil dia begitu
karena terlihat usianya belum melebihi kepala dua. Aku tak kenal dia,
sepertinya memang bukan orang sini, atau aku yang tak pernah bertemu karena
sembilan tahun terakhir domisiliku di luar tanah kelahiran ini.
“Kamu asma?”
Dia menggelengkan kepala
“Sesak napas?”
Dia kembali menggelengkan
kepala. Kemudian aku sentuh pundaknya.
Dia mengangkat kepala, dan wajahnya berputar ke arahku, ia
memandangku.
Saat itu juga bulu di tengkuk perlahan berdiri.
Tatapannya itu ... tidak kosaong, tidak tajam, tidak mengerikan,
tapi ... ah aku tak menemukan kata untuk menggambarkannya selain; tatapannya polos, tak berasa.
“Coba pakai obatku ini, insya Allah bisa menanggulangi sesak
napasmu.”
“Tidak,” jawabnya pelan disela kesulitan menarik napas. Para
jama’ah sudah sedari tadi melihat-lihat dia, bertanya ini itu, tapi karena aku
yang paling dekat posisi duduknya dengan dia, wajahnya pun hanya tertuju
padaku.
“Panggilkan ibu kak, tolong panggilkan ibuku,” pintanya lemah.
“Ibumu siapa? Rumahmu di mana?”
“Panggilkan saja, cepat panggilkan.”
Belum aku bertanya lagi, pintu mesjid ada yang membuka, dan
masuk seorang ibu seusiaan ibuku, usianya kutaksir 50 tahunan.
“Ayo pulang nak, ayo ke rumah,” ucap si ibu pada anak yang
sedari tadi menyeret napasnya itu dengan susah, payah.
“Nggak, aku mau disini.”
“Ayo pulang saja, kamu istirahat di rumah.”
“Nggak mau, aku mau di sini.”
Ibunya pun memeluk dia, dan si anak berujar lemah, “Maafin aku
bu, aku minta maaf untuk semua salahku.”
Aku semakin merinding
mendengarnya.
“Anaknya kenapa Bu? Punya peyakit asma?”
Si ibu memandangku karena
pertanyaan itu.
“Sudah dua hari ini dia muntah-muntah, mengeluh kepalanya
pusing, tidak bisa tidur.”
Ibu itu memalingkan
pandangan dariku ke anaknya. “Ayo kita pulang nak ....”
“Nggak, aku mau disini.”
Aku sentuh tangannya ... sedikit lebih dingin dari suhu tubuhku.
Napasnya semakin cepat. Semakin jelas terdengar. Lama-lama aku
ngeri sendiri dengan kondisi ini.
Akhirnya aku berinisiatif untuk memberikan ventolin inhaler itu
tanpa peduli dia mengatakan tak sesak atau tak asma, karena jelas-jelas dia
kesulitan memasukkan udara ke paru-parunya.
“Buka mulutnya ya,” ucapku perlahan. “Nanti hisap napas panjang
dan akan kutekan obat ini, setelah itu tahan sejenak di dada, baru keluarkan
lagi napasnya.”
Dia menggelengkan kepala tanpa suara. Menolak.
Aku masa bodoh.
Kuhampirkan saja ujung obat itu ke mulutnya, dia pun membuka
mulut itu. Kutekan ventolin-nya. Oksigen dari dalamnya terhembus di dalam
mulutnya. Dia menahan napas, kemudian dikeluarkan.
Kutunggu reaksinya ... tak membaik juga. Kuulangi lagi. Tetapi
tidak ada perubahan. Padahal sesak napas terparahku saja akan reda dalam
semprotan obat kedua kalinya. Tapi, dia tidak.
“Pulang yuk, kita pulang saja,” Ibu itu kembali merajuk, dan
jawaban serupa dilontarkan anaknya.
“Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirih ucap mulutnya.
Ia kemudian memandangku.
Tatapannya polos.
“Kak, maafin aku, maafin aku.”
Ia mengambil tanganku dan menyalaminya.
Dingin. Tangannya jauh lebih dingin. Suhunya tidak seperti
beberapa saat yang lalu saat kupegang. Sekarang jauh lebih dingin.
Ia kemudian menoleh ke jama’ah di belakangnya.
“Pak, maafin aku ....”
Terus memandangi semua jama’ah yang ada di mesjid.
“Semuanya, aku minta maaf.”
“Sudah dimaafkan, sekarang pulang dan istirahatlah di rumah,
biar ibumu panggilkan dokter,” semua menjawab sama.
Ia menggelengkan kepala.
Anak itu lantas mendekati imam kami dan mencium tangannya,
“Maafin aku pak Haji, maafin.”
Ia terisak. Bersujud di hadapan imam kami.
“Iya, sekarang pulanglah,” itu kalimat kesekian yang serupa dari
imam kami.
Anak itu pun kembali dibujuk ibunya pulang, tetap tak mau.
Dia bangkit dari sujudnya, napasnya masih diseret, berat.
Kemudian ia melihat ke pojok mesjid dimana tangga menuju lantai dua mesjid ada
di sana.
“Kak siapa itu?” Ia menunjuk ke sudut mesjid sambil bertanya
padaku.
“Mana? tak ada siapa-siapa di sana!” jawabku bingung.
“Itu yang disitu siapa?”
Ibunya pun mengatakan hal yang serupa dengan ucapanku.
Anak itu kemudian sujud lagi dan berulang-ulang membaca
istighfar.
Apa ini?
Kenapa dengannya?
Apakah dia ...
Ah, aku tak berani berandai-andai. Tak lama berselang,
kerabatnya datang dari luar mesjid, membujuk, merayu, dan memaksa dia keluar
dari mesjid untuk pulang ke rumah sebelum dipanggilkan doketer.
Dia tidak mau. Dia terus bersujud sambil beristighfar.
“Dari semalam dia memaksa ingin shalat di mesjid, sebelumnya tak
pernah, tapi sekarang dia memaksa ibu untuk mebawanya ke mesjid,” ucap ibu itu.
Kerabatnya pun berhasil mencengkeram tangan dan pundaknya.
Dengan dibantu jama’ah yang lain , anak itu pun terangkat dari sujudnya.
Kusaksikan warna kulit wajahnya membening. Bukan memutih, tapi membening. Lebih
bersih.
Napasnya semakin cepat, berkejaran.
Diseret. Pendek. Berat.
Sepertinya udara seolah-olah berserat bagi hidung dan
paru-parunya.
Dan ...
Ending kisah ini tak mampu kutuliskan.
Tak kuasa kugambarkan, karena kusaksikan sendiri ia dengan mata
kepala ini.
Tak bisa, cukup sampai di sini saja.
Yang jelas ia terlentang di atas karpet mesjid.
Tubuhnya melemah.
Matanya sayu, meredup.
Aku menangis menyaksikannya.
Meski aku tak mengenalnya, tapi batinku ciut melihat kejadian apa yang dialaminyai.
Cukup selesai sampai di sini.
Berakhir.
[ ]
Apakah kalian berfikir aku menulis cerita fiksi?
Apakah kalian menyangka kisah di atas hanya omong kosong belaka?
Bacalah sekali lagi dari atas, perhatikan apakah aku membumbui
tulisan ini dengan bahasa-bahasa hiperbola ala khayangan?
Apakah penggamabaran setting tempat begitu detail kulukiskan?
Apakah nama-nama tokoh kumunculkan dengan karakter
masing-masing?
Apakah konflik yang ada terkesan diada-adakan?
Maka kalian akan menemukan jawabannya adalah, TIDAK!
Lantas untuk apa kutulis ini?
Apa sekedar untuk menghibur kalian?
Atau untuk menakuti-nakuti para?
Demi Allah, tidaklah aku tulis ini semua, kecuali ketakutanku
mendapatkan pertanyaan serupa ini nanti di akhirat:
Apakah engkau menyaksikan pelajaran berujungnya kehidupan di
tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, jam sekian, atas seorang anak di
mesjid Al-Hidayah, Garut?
Aku pasti menjawab “Iya, saya menyaksikan.”
Apakah engkau bisa mengambil pelajaran dari kekuasaan Tuhanmu
pada kejadian itu?
“Ya, saya memahaminya?”
Lantas, kenapa engkau tidak menyampaikan pelajaran itu pada
orang-orang di sekitarmu?
Kenapa engkau tidak memberikan peringatan atas kejadian itu
sebagai pelajaran bagi mereka yang masih diberi kesempatan hidup di dunia?
Maka, jika tak kutuliskan ini, aku khawatir mendapat pertanyaan
seperti itu dan tak dapat menjawabnya. Sungguh, pertanggungjawaban di akhirat
beribu kali lipat lebih berat dari pada di dunia.
Maka ingin kugugurkan kewajiban penyampaian itu lewat tulisan ini.
Dan sekarang, tahukan bagaimana rasanya ditarik ruh dari jasad?
Jawabannya pasti tidak, karena aku (kalian) belum merasakannya,
tapi Allah memberikan gambarannya lewat-orang-orang yang selesai masa hidupnya
di dunia untuk menuju alam setelahnya. Salah satunya, ketika Rasulullah shalallahu alaihi wassalam
dicabut nyawa;
... ....
Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah. Ketika roh
baginda sampai di pusat perut, baginda berkata: “Wahai Jibril, alangkah
pedihnya maut.”
Mendengar ucapan Rasulullah itu, Fatimah terpejam, Ali yang
disampingnya menunduk semakin dalam, Jibril as memalingkan mukanya.
Lalu Rasulullah SAW bertanya: “Wahai Jibril, apakah engkau tidak
suka memandang mukaku? Jibril menjawab: “Wahai kekasih Allah, siapakah yang
sanggup melihat muka baginda, sedangkan baginda sedang merasakan sakitnya
maut?”
... ....
Itu gambaran kesakitan bagaimana proses dicabutnya ruh,
Rasulullah saja yang notabene mahluk paling dicintai dan disayangi Allah,
merasakan sakit tak terperi, apatah lagi aku (kalian) yang ... ah tak ada
apa-apanya dibandingkan Rasulullah dalam ketaatan, kemuliaan, kedudkannya
dihadapan Allah. Beliau shalallahu alaihi wassalam dicabut ruh nya dengan
sangat pelan, lembut, berhati-hati, penuh kasih sayang, merasakan sakitnya
begitu hebat. Lantas, seperti apakah yang akan aku (kalian) rasakan? Adakah
dicabut dari ubun-ubun dengan kasar tanpa belas kasihan?
Oleh karena itu, aku berharap tulisan ini memberi manfaat, bisa
dijadikan CERMIN untuk diriku (kalian) dalam usaha mempersiapkan diri, karena
aku (kalian) tidak pernah tahu kapan napas TERAKHIR itu tiba.
Bisa jadi tahun depan, mungkin bulan depan, bisa saja beberapa
jam lagi, atau mungkin setelah selesai membaca tulisan ini? Wallahu a’lam
bishawab.
Maka dari itu ...
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan
keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi
nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)
“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan
kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)
“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan
mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan
mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan
azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat
Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan sub judul Fit Tahdzir minan
Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]
Sekian.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Catatan: Jika tulisan ini memberi manfaat dan pelajaran,
sampaikanlah pada orang disekitarmu, karena tidak semua orang punya kesempatan
dan mau membaca.
Rabb, aku mohon maaf atas terbaginya hati dan pikiranku dalam
shalat. Aku memohon padamu untuk memberikan anak itu akhir yang baik, dan
tempat tepuji di sisi-Mu
Garut, 12 Agustus 2012,
Kun Geia.